
Camilan Tepung Lalat: Gula-Gula Terbuka di Pasar yang Menggoda Selera Tapi Menguji Nyali
Di tengah keramaian pasar tradisional Indonesia, tak sulit menemukan jajanan yang menggoda—warnanya cerah, aromanya manis, dan bentuknya lucu-lucu. Tapi di antara deretan camilan tersebut, ada satu yang secara tak resmi sering dijuluki warga sebagai “camilan tepung lalat”. Julukan ini bukan tanpa sebab. Ia mengacu pada jajanan berbahan dasar tepung dan gula yang dijual terbuka tanpa penutup, dikerubungi lalat, namun tetap digemari karena rasa dan harganya yang murah meriah.
Kenapa Tetap Laku?
Di banyak pasar, camilan seperti kue cubit, bolu mini, keripik manis, donat kampung, atau permen tepung warna-warni sering diletakkan di tampah atau nampan besar, tanpa penutup. Posisi strategis di dekat pintu masuk atau jalur ramai membuat camilan ini cepat laku, apalagi karena bentuk dan warna yang menarik perhatian anak-anak.
Harganya pun sangat bersahabat—cukup dengan Rp2.000–Rp5.000, pembeli sudah bisa membawa pulang sekantong plastik jajanan. Untuk masyarakat menengah ke bawah, ini jadi alternatif jajanan murah yang bisa dinikmati ramai-ramai. Rasa manis yang khas dari gula pasir atau sirup buatan pabrik pun memberi sensasi nostalgia, mengingatkan pada masa kecil di kampung halaman.
Lalat Datang, Bahaya Datang
Sayangnya, kelezatan camilan ini sering dibarengi dengan pemandangan login rajazeus yang memprihatinkan: puluhan lalat beterbangan dan mendarat di permukaan camilan. Lalat-lalat ini bukan sekadar gangguan visual—mereka adalah pembawa berbagai bakteri dan penyakit.
Lalat rumah (Musca domestica) dikenal sebagai hewan yang sering hinggap di tempat sampah, limbah, dan kotoran. Saat mereka berpindah ke makanan terbuka, mereka berpotensi membawa:
-
Salmonella – penyebab diare dan keracunan makanan.
-
E. coli – bisa menimbulkan infeksi pencernaan parah.
-
Shigella – bakteri penyebab disentri.
-
Parasit usus – seperti telur cacing yang menempel di makanan.
Masalah makin parah ketika camilan tidak disimpan dalam suhu aman dan dibiarkan sepanjang hari di udara terbuka. Kombinasi antara suhu hangat, kelembapan, dan gula menjadikannya tempat berkembang biak ideal untuk bakteri.
Mengapa Pedagang Tidak Menutup?
Pertanyaan yang sering muncul adalah: mengapa pedagang membiarkan makanan terbuka begitu saja? Beberapa alasannya antara lain:
-
Efisiensi: Menutup makanan dianggap merepotkan, apalagi jika harus dibuka-tutup terus saat pembeli datang.
-
Menarik perhatian visual: Camilan yang terlihat jelas lebih menggoda dan lebih cepat laku.
-
Keterbatasan modal: Tidak semua pedagang mampu membeli etalase kaca atau tudung saji besar.
Solusi yang Bisa Didorong
-
Edukasi pedagang pasar mengenai pentingnya menjaga higienitas jajanan.
-
Pemakaian tudung plastik transparan murah sebagai penutup sederhana namun efektif.
-
Pemeriksaan berkala dari dinas kesehatan terkait makanan siap saji di pasar.
-
Konsumen juga harus lebih selektif dan berani menolak membeli makanan yang tidak higienis.
BACA JUGA: Menelusuri 15 Makanan Khas Padang Mulai dari Rendang Hingga Kalio Jariang